Selasa, 15 Februari 2011


 Sinopsis Novel

Judul                     : Pudarnya Pesona Cleopatra
Pengarang             : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit                 : Republika
Kota Terbit           : Jakarta Selatan
Tahun                    : 2008
Cetakan ke            : Empat belas
Tebal Buku           : 0,6 cm
Panjang Buku       :13,5 cm
Tebal                     : 111 halaman

“Aku” adalah seorang sarjana muda lulusan Universitas Al Azhar Cairo Mesir, “Aku” dipaksa menikah oleh Ibunya dengan seorang wanita yang cantik jelita dan mempunyai wajah baby face, meskipun umurnya lebih tua dua tahun dari “Aku”. Wanita itu bernama Raihana. “Aku” sudah dijodohkan ibunya sejak ibunya masih nyantri di daerah Mangkuyudan Solo. Saat itu ibu pernah berjanji dengan temannya kalau anak kita lahir nanti dan berlainan jenis maka akan dijodohkan. “Aku” merasa tidak suka atas perjodohan in. Namun, “Aku” tetap memerima perjodohan ini, “Aku” ingin berbakti kepada Ibunya, karena setelah ayahnya tiada ibunyalah orang yang paling dihormati. Dan dengan dorongan dari adiknya si Aida maka “Aku” merasa yakin untuk menikah dengan Raihana, dan dengan rasa terpaksa “Aku” menerima perjodohan dengan wanita yang tidak dicintainya. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa Raihana itu cantik.

Pernikahan itu akhirnya terjadi juga, “Aku” merasa dirinya diantarkan ke tiang gantungan karena harus menikah dengan wanita yang tidak dicintainya. “Aku merasa seperti mayat hidup ketika duduk di atas pelaminan. Dan setelah pernikahan itu “Aku” dan Raihana pisah dengan orang tuanya, mereka berdua pindah ke pinggiran kota Malang dengan alasan tuntutan kerja, karena “Aku” sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Malang. “Aku” dan Raihana tidak harmonis dalam menjalani keseharian berumah tangga, karena pernikahan mereka berdua tidak didasari rasa cinta, dan karena perjodohan “Aku” sering tidak memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada Raihana sebagai seorang istri. Raihana sering merasa tertekan atas sikap “Aku” yang dngin kepada istrinya. “Aku” lebih sering sibuk dengan pekerjaanya dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami yang seharusnya menyayangi dan memberikan nafkah kepada istrinya.

“Aku” hanya terobsesi dengan kecantikan gadis Mesir, dalam kesehariannya yang ada dipikiranya hanyalah kecantikan gadis-gadis Mesir, “Aku” beranggapan jika ada delapan gadis Mesir, maka yang cantik ada enam belas, karena bayangan dari gadis tersebut juga cantik. Demikian beser keinginan “Aku” untuk bisa memiliki dan menikah dengan gadis Mesir sampai mengabaikan tanggung jawab sebagai seorang suami yang sudah dianugerahkan oleh Allah seorang isteri cantik dan sangat menyayanginya. pada saat kandungan Raihana memasuki bulan keenam, Raihana memutuskan untuk tinggal bersama orang tuanya. Raihana sudah tidak kuat akan sikap “Aku” yang semakin dingin dan acuh kepada istrinya, maka dengan alasan kesehatan dan keamanan kandunganya Raihana minta ijin kepada suaminya untuk tinggal bersama orang tuanya. “Aku” pun mengantarkan Raihana ke rumah orang tuanya. karena dengan alasan pekerjaan maka “Aku” memutuskan untuk tinggal sendiri di rumahnya dan hal itu juga tidak menimbulkan kecurigaan kepada mertuanya. Saat tinggal sendiri di rumah “Aku” merasa nyaman tanpa ada seorang pun yang mengganggu kesehariannya, “Aku” semakin sibuk dengan pekerjaanya dan melupakan sejenak istrinya yang sedang mengandung dan saat ini sedang tinggal bersama mertuanya, “Aku” merasa enak hidup sendiri. Hingga suatu saat dia merasa repot saat dia pulang malam dan dalam keadaan basah, dan hal itu membuat dirinya menjadi sakit dia merasa membutuhkan seorang pendamping hidup yang selalu setia melayani kebutuhannya. Namun “Aku” tetap bertahan dan merasa mampu karena “Aku” merasa sudah terbiasa ketika kuliah dan hidup sendiri di Mesir.

Suatu saat “Aku” mendapat tugas kerja untuk mengikuti pelatihan dosen bahasa Arab di daerah Puncak, “Aku” bertemu dengan pak Qalyubi. “Aku” banyak berbagi cerita dengan pak Qalyubi, “Aku” tersadar ketika mendapat cerita bahwa pak Qalyubi pernah menikah dan sempat mempunyai tiga orang anak dari gadis Mesir. Tapi pada akhirnya pak Qalyubi bercerasi dengan istrinya karena pak Qalyubi sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan gadis Mesir tersebut, karena gais Mesir hanya hanya memandang laki-laki dari harta yang dimilikinya, lain dengan gadis Jawa dia setelah menjadi istri maka akan sepenuhnya mengabdi dan setia kepada suaminya, Karena istri adalah sepenuhnya milik suami. ”Aku” tersadar bahwa dia seharusnya menjadi laki-laki paling beruntung karena telah mendapatkan istri secantik dan perhatian seperti Raihana yang belum tentu dia dapatkan setelah itu,Aku ingin segera pulang dan bertemu dengan Raihana. Rasa rindu untuk bertemu dengan Raihana dan anak yang dikandungnya semakin tidak tertahankan, hingga akhirnya tugas yang jalaninya berahir dan “Aku” memutuskan untuk segera pulang kerumah dan menjemput Raihana di rumah orang tuanya, rasa itu sudak tidak dapat ditahan lagi. “Aku” tidak langsung ke rumah, namun “Aku” menyempatkan untuk mampir ke toko busana muslimah untuk membeli beberapa stel busana muslimah untuk Raihana, “Aku” juga menyempatkan mampir ke toko perhiasan untuk membeli gelang, dia ingin Raihana menyambutnya dengan rasa bahagia.“Aku” menyempatkan pulang kerumah dan tidak langsung ke rumah orang tuanya. karena sebelum pergi Raihana berpesan untuk mencairkan tabunganya yang akan digunakan untuk mempersiapkan kelahiran anaknya. Saat mengambil buku tabungan “Aku” menemukan sebuah surat yang ditulis tanga oleh Raihana. Dalam surat itu Raihana menuliskan ungkapan batin yang selama ini terdzolimi sebagai istri. “Aku” tersadar bahwa selama ini dia telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. “Aku” sering mengabaikan kasih sayang yang besar dari Raihana, betapa Raihana mati-matian mencintaiku, mati-matian menahan rasa rindu akan belaian kasih sayangku, ia menguatkan diri menahan nestapa dan derita yang luar biasa karena atas sikapku, hanya Allah tempat ia meratap melabuhkan dukanya “Aku” hanya bisa menangis mengetahui keadaan itu.

“Aku” mengejar waktu untuk segera membagi cinta denga Raihana, rindu yang tiba-tiba memenuhi rongga dada, air mataku berderai-derai. Dan sesampai “Aku” di rumah mertuanya ibu mertua hanya menangis dan menangis, aku harus bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. “istri dan anakmu yang ada di kandunganya telah meninggal” dia jatuh di kamar mandi, hatiku bergetar hebat kenapa semua ini bisa terjadi Hingga akhirnya ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di sebuah kuburan yang letaknya di pinggir desa, di atas kuburan itu ada dua batu nisan, nama dan wafat Raihana tertulis di sana, “Aku” tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. “Aku” menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil nama raihana seperti orang gila. Sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba, “Aku” ingin Raihana hidup kembali. Hatiku perih tiada terkita.
Dunia tiba-tiba gelap semua.....


Kajian Menggunakan Pendekatan Psikologis ( Aspek Kepribadian Tokoh Raihana)

Kadangkala cinta itu memang menyakitkan. Penyesalan diakhir tak akan pernah berguna ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur”. Seseorang yang dianggap tidak pernah berharga dalam hidup setelah ia tiada akan terasa lebih untuk hidup. Cantiknya jasmani belum tentu secantik hati dan ketulusan dalam mencintai.

Dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy, tokoh Raihana mempunyai beberapa indikasi-indikasi insting hidup. Insting hidup yang dimiliki oleh Raihana yang dapat diambil di antaranya adanya perasaan cinta yang dimiliki oleh Raihana meskipun hal itu belum ia dapatkan dari suaminya, yaitu “Aku” yang sampai saat pernikahannya belum bisa menunjukkan rasa cintanya kepada Raihana. Hal ini dapat ditunjukkan ketika Raihana memberikan perhatiannya kepada “Aku” ketika “Aku” kedinginan dan membutuhkan perhatian yang lebih. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan novel berikut ini.
“Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa mas. Pakai balsem, minyak kayu putih, atau pakai jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong. Aku kan tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk membantu mas.”
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa rasa cinta itu muncul dalam diri Raihana, meskipun rasa cinta itu belum ada dalam diri “Aku” yaitu lelaki yang menjadi suami Raihana. Dalam konteks lain Raihana juga membutuhkan kasih sayang, di antaranya adalah kasih sayang dari seorang suami yang didambakannya sejak Raihana melangsungkan pernikahan. Namun, kasih sayang tersebut tidak Raihana dapatkan dari “Aku”, hal ini dapat ditunjukkan ketika “Aku” memanggil Raihana dengan panggilan “Mbak”, yaitu panggilan yang tidak sepantasnya digunakan suami untuk memanggil istrinya, Raihana menginginkan perhatian dari “Aku”, Raihana inggin diperlakukan sebagai “Aku” seorang istri, hal ini dapat ditunjukkan dalam kutipan novel berikut
ini. Ada kekagetan yang kutangkap dalam wajah Raihana saat kupanggil “mbak” panggilan akrab untuk orang lain, tapi bukan untuk seorang istri. “kenapa mas memanggilku “Mbak”? aku kan istri Mas. Apakah Mas tidak mencintaiku?” tanyanya dengan gurat sedih tampak di wajahnya.
Dari beberapa cuplikan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raihana adalah individu yang mempunyai insting hidup, yaitu naluri atau keinginan akan rasa sayang, kasih sayang, cinta, dan kebutuhan yang diperlukan dalam menjalani kehidupan.

Insting mati yang terdapat pada tokoh Raihana dapat dilihat ketika Raihana melaksanakan ibadah-ibadah untuk menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan seperti menyakiti dirinya sendiri bahkan ke hal yang lebih jauh, yaitu membunuh dirinya sendiri karena dia sudah tidak kuat dengan perlakuan suaminya kepada dirinya, Raihana menjaga kemungkinan-kemungkinan terburuk pada dirinya dengan selalu mendekatkan dirinya kepada Allah. Hal ini dilakukan oleh Raihana karena hanya kepada-Nya dia mengadu akan semua masalah yang dihadapinya. hal ini dapat di tunjukkan dalam cuplikan novel di bawah ini.
“maafkan Hana Mas, kalau membuat Mas kurang suka. Tapi Mas belum shalat Isya. ”Lirih Hana yang belum melepas mukenanya. Mungkin dia baru saja sholat malam.... Rabbi dengan penuh kesyukuran. Hamba bersimpuh dihadapan-Mu ya Rabb. Lakal hamdu ya Rabb. Telah engkau muliakan dengan Alquran. Kau kuatkan diri hamba. Dengan cahaya Alquran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini. Niscaya hamba sudah terperosok dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkanlah tambahhan kesabaran pada diri hamba....,” tulisan Raihana.
Insting mati juga bisa dilihat ketika Raihana pergi ketempat ibunya untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang menimpa dirinya karena kehamilannya. Kekhawatiran akan menjaga dirinya dari kemungkinan-kemungkinan yang akan menganggu jiwa dan dirinya saat dia melahrkan nanti. Hal itu dapat ditunjukkan dalam cuplikan novel di bawah ini.
Dan akhirnya datanglah hari itu, saat usia kehamilannya memasuki bulan keenam, Raihana meminta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke sana. Ketika aku pamitan Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya persiapan kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku!. ATM-nya ada di bawah kasur. Nomor pinnya adalah tanggal dan bulan pernikahan kita.”
Dari beberapa cuplikan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raihana adalah individu yang mempunyai insting mati, yaitu naluri atau perasaan bahwa akan ada hal-hal yang akan mengancam dirinya serta keinginan untuk menjalankan kehidupannya.

Tokoh Raihana mempunyai id yang berupa keinginan-keinginan untuk memuaskan dirinya sendiri. Raihana menginginkan hidup bahagia bersama suaminya dan bisa membangun rumah tangganya secara harmonis. Raihana tidak menginginkan penderitaan yang terjadi pada dirinya terjadi secara terus menerus. Raihana selalu berusaha untuk mendapatkan suatu kebahagiaan dalam dirinya.
”.......Mas kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini.” Hal itu dapat ditunjukkan ketika Raihana mengharapkan kebahagiaan dari pernikahannya bersama “Aku”, rumah tangga yang sudah dibinanya selama hampir satu tahun, namun dalam rumah tangga Raihana belum menemukan kebahagiaan. Raihana menginginkan kebahagiaan dalam rumah tangganya dengan menanyakan kepastian dari aku atas pernikahannya dan menanyakan apakah “Aku” mencintainya. “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa Mas ucapkan akad nikah itu? kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang tidak berkenan kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas dian saja? Aku harus bersikap bagaimana umtuk membahagiakan Mas? Aku sangat mencntaimu Mas. Aku siap mengorbankan nyawa untuk kebahagiaan Mas?
Keinginan Raihana itu ditunjukkan dalam perhatiaanya kepada suaminya, hal tersebut merupakan suatu bagian dari id, yaitu Raihana menginginkan rasa senang atau bahagia dan menghindari rasa sakit. Raihana mungkin merasakan hal yang sama, tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang berusaha menahan segala badai dengan kesabaran. Dari paparan novel di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Raihana mempunyai sebuah energi yang berupa id untuk memberikan rasa bahagia dan perhatian terhadap dirinya sendiri dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang akan menyakiti dirinya. Hal itu secara tidak sadar telah dilakukan Raihana, dan muncul ke perkataan yang secara lanngsung ditujukan kepada “Aku” suami Raihana.

Ego yang dimiliki oleh tokoh Raihana adalah ketika Raihana mengingikan kebahagiaan dari “Aku” namun tidak didapatkannya,bahkan
hal sebaliknya yang didapatkannya, yaitu sikap acuh-tak acuh dan tidak
perhatian dari suaminya. Namun, Raihana tetap tenang menghadapi keadaan itu dengan kesabaran dan sebuah pengabdian kepada suaminya.
Aku merasakannya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang kerja atau di ruang tamu aku sendiri heran dengan keadaan diriku sendiri. Ego Raihana semakin meningkat ketika Raihana sudah tidak kuat terhadap perlakuan suaminya, perlakuan “Aku” yang lebih banyak diam, acuh tak acuh, dan“ Aku ” meninggalkan Raihana tanpa sebab, bahkan tidur secara sendiri-sendiri. Raihana meluapkan ego-nya melalui tangisan yang di luapkan kepada aku. Hal itu dapat dilihat dalam cuplikan novel berikut ini.
“Tangis Raihana tak juga mampu membuka jendela hatiku, rayuan adzan ratapannya yang mengharu biru tak juga meluruhkan perasaanku. Aku meratapi dukaku. Raihana meratapi dukanya. Dan duka kami belum juga bertemu.”  Pengendalian ego yang dilakukan oleh Raihana adalah ketika Raihana tetap setia mengabdikan dirinya kepada suaminya dan selalu ingin
membahagiakan suaminya. Ego yang ada pada diri Raihana muncul ketika Raihana berusaha menghindari kemungkinan-kemungkinan yang akan mengancam kebahagiaan dirinya. Sehingga Raihana berusaha untuk
menghindari kemungkinan yang akan membuat dirinya menderita dengan
cara menanyakan kepastian cinta “Aku” kepada dirinya. Tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai dengan kesabaran.

Super ego ditunjukkan ketika Raihana tetap menghargai suaminya dan mengabdi sepenuhnya kepada suaminya. Hal itu dilakukan Raihana karena Raihana menyadari bahwa tugas seorang istri adalah mengadi dan membahagiakan suaminya. “Mas tidak apa-apa kan?” tanyanya cemas sambil melepas jaketku yang basah kuyup. “Mas mandi pake air hangat saja ya. Aku sedang menggodog air. Lima menit lagi mendidih.” Lanjutnya. Aku melepas semua pakain yang basah dan memaki sarung. Di luar hujan sedang lebat-lebatnya. Aku merasa perutku mulas sekali. Dan kepalaku agak pusing. Aku yakin masuk angin. Raihana tetap mendoakan “Aku” sebagai suaminya. Meskipun Raihana sering mendapatkan perbuatan yang tidak selayaknya seorang suami kepada istrinya. Raihana tetap berpegang teguh pada aturan dan norma yang berlaku dalam agama maupun adat Jawa, bahwa seorang istri adalah sepenuhnya milik suami dan sebisa mungkin mengabdi dan membahagiakan suaminya. Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba memohon janganlah engkau murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Biarlah hamba yang menanggung nestapa. Jangan engkau murkai dia. Dengan penuh rasa cinta hamba telah memaafkan segala khilafnya, hamba tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hanba kekuatan untuk tetap setia berbakti dan memuliakannya. Ya Allah engkau maha tau bahwa hamba sangat mencintai dia karena-Mu. Ya sampaikanlah rasa cinta hamba ini kepadanya dengan cara-Muyang paling bijaksana. Tegurlah ia dengan teguran rahmat-Mu. Ya Allah dengarlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau. Ya Allah hamba mengakui hamba termasuk golongan orang-orang yang zalim. Amin.” Bahkan Raihana rela mengorbankan dirinya demi membahagiakan suaminya, super ego tampak lebih besar dibandingkan dengan ego pada diri Raihana, sehingga energi yang ada pada diri Raihaha lebih banyak tersalurkan kepada super ego dibandingkan dengan energi yang didapatkan oleh ego. Tagis Raihana tak mampu juga membuka jendela hatiku. Rayuan dan ratapannya yang mengharu biru takjuga meluruhkan perasaanku. Aku meratapi dukaku, raihana menangisi dukanya. Dan duka kami belum juga bisa bertemu. Karena Raihana adalah seorang wanita yang berpendidikan dan menjunjung tinggi norma-norma agama dan adat-istiadat setempat yaitu kebudayaan Jawa. Super ego lebih banyak mendapatkan peluang pada diri Raihana dibandingkan energy yang didapatkan ego.

Kecemasan yang dialami oleh tokoh Raihana tampak ketika dia menanyakan keseriusan “Aku” untuk tetap menjadi suaminya, dan ketakutan Raihana juga tampak ketika Raihana bebicara kepada “Aku” supaya tidak menceraikan dirinya. kecemasan Raihana dapat ditunjukkan dalam cuplikan novel berikut ini.
“Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa Mas ucapkan akad nikah itu? kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang tidak berkenan kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana umtuk membahagiakan Mas? Aku sangat mencntaimu Mas. Aku siap mengorbankan nyawa untuk kebahagiaan Mas? Jelaskanlah padaku apa yang harus aku lakukan untuk membuat \rumah ini penuh bunga-bunga indah yang bermekaran? Apa yang harus aku lakukan agar Mas tersenyum? katakanlah Mas! Asal jangan satu hal. Kuminta asal janga satu hal: yaitu menceraikan Aku! Itu adalah neraka bagiku. Lebih baik Aku mati daripada Mas menceraikanku. Dalam hidup ini Aku hanya ingin berumah tangga cuma sekali. Mas kumohon bukakanlah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini”
Dari cuplikan novel di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raihana sangat takut ketika suatu saat suaminya yaitu “Aku” menceraikannya, karena perceraian bagi Raihana merupakan sebuah siksaan dan seperti neraka.

Adapun bentuk penahanan diri yang dilakukan Raihana adalah dalam bentuk tetap menghormati suaminya meskipun tindakan yang dilakukan suaminya tidak selayaknya perbuatan seorang suami kepada seorang istri, Raihana tetap bertahan atas keadaan yang dialaminya selama hidup bersama suaminya. Perempuan berjilbab yang satu ini memang luar biasa, ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Raihana bisa menahan dan mengendalikan dirinya, dan tetap sabar terhadap suaminya meskipun perhatian dari suaminya kepada Raihana tidak pernah Raihana dapatkan.

Dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dan pengarang ingin menyampaikan amanat kepada pembaca agar segala sesuatu itu tidak dinilai dari kecantikanya, karena kecantikan tidak selamanya abadi. janganlah mencintai seseorang  dilihat dari kecantikan luarnya saja (jasmani) tetapi juga lihat dari kecantikan dalamnya  (kecantikan hati).

Rabu, 09 Februari 2011

SEGALANYA UNTUK TASYA


Sinopsis Cerpen”Segalanya Untuk Tasya”
Widyawati Puspita Dewi
            Cerita ini berawal dari sakitnya Tasya yang akhirnya membuat Marsha terikat perjanjian dengan mamanya sendiri yang nyatanya sudah tiada. Marsha terikat perjanjian dengan mamanya demi kesembuhan adiknya. Dalam perjanjian tersebut Marsha harus melakukan kebaikan selama seratus hari kepada orang lain. Yang kenyataannya membuat Marsha berubah total dari sifat-sifat sebelumnya, yang dulu pemarah sekali sekarang menjadi lebih peduli dan sabar.
            Marsha pun mulai melakukan kebaikan-kebaikan kepada orang lain. Disebuah pantai nelayan di Jawa Tengah Marsha melihat anak kecil kira-kira umurnya baru 10 tahun. Mata anak kecil tersebut menyorot tajam kearah Marsha. Tiba-tiba, “Hadi…Hadi” sebuah teriakan memecahkan keheningan diantara debuaran ombak. Seorang wanita umur 40 tahun datang mendekat. “Pasti kau belum makan. Sabar ya, Ibu masih menunggu sisa ikan yang tak laku dilelang.”
            Saat  malam tiba Marsha pun menyalakan lilin. Setelah lama menunggu akhirnya mamanya muncul selalu dengan senyum. “sekarang ceritakan kepada Mama bagaimana harimu?” “Aku sedikit member uang kepada Hadi, anak dipantai tadi. Hadi dan ibunya belum makan, sementara mereka belum tentu dapat sisa ikan yang tak terjul dilelang. Ya, paling tidak untuk beli makan.” “Hari ini hari ke 70 Sha, kamu harus bersabar.”
            Pada hari ke 80 Marsha bercerita kepada Tasya kalau mobilnya ditabrak angkot . “kalau aku jadi kakak, pasti sudah kumaki-maki sopirnya. Nabrak mobil orang kok seenaknya. Bikin repot.” “Hitung-hitung amal Sya.” Kata Marsha sambil tertawa. Malamnya Mama datang lagi. Kali ini mama memberi ujian yang sangat berat untuk Marsha. “ apa kamu siap berkorban sekali lagi untuk tasya? Relakah kamu jika Tasya menginginkan Hessel?” “Jangan paksa aku Ma. Aku mohon. Mama boleh minta yang lain dari aku. Ma. Tapi…tapi jangan hessel.”  Untuk pertama kalinya Marsha merasa sangat putus asa. Marsha memang sangat menyayangi Tasya tapi juga mencintai Hessel. “Tak ada tawar-menawar lagi Mama tak punya pilihan yang lebih baik untuk aku. Dan aku… tak punya tenaga untuk menolaknya.”
            Hari ke 99 Marsha membujuk Tasya agar mau menerima Hessel. “ Kak, Tasya tak akan melakukannya. Tidak akan. Suara tasya tegas.” “ Sya, ayolah.. kamu jujur. Kamu sayang kan sama Hessel? kamu cinta dia kan?” “Kak, aku tak bisa.” Tasya bangkit dari tempat duduknya. Sia-sia marsha membujuknya. Tasya tak mau mendengarkannya.
            Pada hari terakhir Marsha mencoba membujuk Marsha kembali. “ Dengar Tasya aku sangat sayang padamu. Aku sudah berjanji pada Mama untuk menjagamu, menyayangimu seumur hidupku. Biar aku membuktikannya selama ini mama melihat menghitung sertiap perbuatan yang ku lakukan baik pada orang lain maupun padamu.” “Maksud Kak, Marsha?   tergagap Tasya bertanya. Mama sudah meninggal,kak. Maksud kak marsha apa?”
            Karena Marsha tidak tega melihat adiknya akhirnya Marsha pun bercerita bahwa dia melakukan perjanjian dengan mamanya selama 100 hari. Tasya bertanya. “Kenapa? Untuk Apa?” “ jika aku aku bisa melakukan perbuatan baikku sampai hari yang ke 100 maka aku akan membantu kesembuhanmu. Kamu akan diberi waktu lebih panjang lagi didekat aku. Di dunia ini. Jadi, tolong Sya, terima Hessel hari ini.  Hari ini adalah hari terakhir kesepakatan itu.” Malam harinya Marsha menyalakan lilin kermbali. “ Marsha… Mama datang, mulai besok Mama tidak akan menemuimu lagi tugas mama sudah selesai.” Sejak malam itu mamaya Marsha tidak pernah datang lagi. Dan Tasya tetap ada disamping Marsha, hidup bersama. Dan Hessel bukan untuk mereka.










Analisis Cerpen “ Segalanya Untuk Tasya”
Dengan Menggunakan Pendekatan Struktural

            Setiap helai rumput setiap butir pasir Tuhan menghitungnya. Setiap detik waktu setiap hela napas Tuhan memberikannya. Setiap nada cinta setiap warna hidup Tuhan menciptanya. Setiap perbuatan setiap kebaikan tuhan membalasnya. Walau harus melakukan dan merelakan apapun yang dimiliki, pengorbanan dan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya tak akan tergantikan. Seperti apa yang dilakukan Marsha dalam cerpen yang berjudul “ Segalanya Untuk Tasya.” Marsha melakukan kebaikan dengan penuh kesabaran.
            Dalam cerpen tersebut ada 3 tokoh yang terlibat yaitu Marsha, Tasya dan Mama. Marsha adalah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya dan lebih dewasa dalam menghadapi suatu persoalan. Walau sebenarnya Marsha yang dulu adalah seorang kakak yang pemarah dan gampang emosi. Seperti dalam kutipan berikut “ Kak Marsha sekarang berubah sekali. Dulu kakak kan pemarah sekali, selalu emosional. Tasya ngga ngerti kenapa kakak berubah hamper setahunan inilah.” Tasya adalah adik yang selalu riang tetapi dia mudah menangis apabila ada suatu hal yang dia hadapi. Sedangkan mama adalah ibu yang penuh kasih sayang dan ingin kedua anaknya hidup bahagia walau kenyataannya mama sudah tiada tetapi dia selalu ada didekat mereka.
 
            Waktu terjadinya cerpen ini yaitu disebuah pantai nelayan di Jawa Tengah Marsha melihat anak kecil kira-kira umurnya baru 10 tahun. Mata anak kecil tersebut menyorot tajam kearah Marsha. Tiba-tiba, “Hadi…Hadi” sebuah teriakan memecahkan keheningan diantara debuaran ombak. Seorang wanita umur 40 tahun datang mendekat. “Pasti kau belum makan. Sabar ya, Ibu masih menunggu sisa ikan yang tak laku dilelang.”
            Setiap malam Marsha selalu menyalakan lilin dan saat lilin nyala saat itu pula Mama datang menghampirinya dan menanyakan kebaikan apa yang sudah dilakukan seperti pada kutipan terserbut.
“sekarang ceritakan kepada Mama bagaimana harimu?” “Aku sedikit member uang kepada Hadi, anak dipantai tadi. Hadi dan ibunya belum makan, sementara mereka belum tentu dapat sisa ikan yang tak terjul dilelang. Ya, paling tidak untuk beli makan.”
            Marsha menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, seperti pada kutipan berikut. “iya, Mama datang Sya, setiap malam aku bertemu dengan Mama setiap aku menyalakan lilin di kamar. Kami ngobrol. Mama memberi penawaran padaku. Selama 100 hari aku harus berbuat baik kepada orang lain. Setiap malam Mama akan datang membawa satu buku catatan amal dan dosa. Jika satu hari saja aku tak berbuat baik pada orang lain, maka perbuatan baikku sebelumnya akan terhapus hitungannya. Harus mulai dari awal hitungan lagi dan hanya ada tiga kesempatan untuk mengulang dari awal.” Hal tersebut membuktikan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam cerpen tersebut adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. Karena yang bercerita adalaah tokoh utama.
            Akhirnya, setelah Marsha selesai melakukan kebaikan selama 100 hari. Mamaya Marsha tidak pernah datang lagi. Dan Tasya tetap ada disamping Marsha, hidup bersama. Dan Hessel bukan untuk mereka. Ini membuktikan bahwa dalam melakukan sesuatu apabila dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan penuh kesabaran  maka, apapun yang diinginkan akan berbunga dan berbuah pada waktunya.